Kinerja yang bagus merupakan kombinasi dari
kepatuhan dan keleluasaan. -Nadia Boulanger
Dalam eksperimennya yang terkenal di bidang
psikologi, Stanley Milgram mengungkapkan betapa
kuatnya pengaruh kepatuhan terhadap perilaku
seseorang. Seseorang bisa dengan amat patuh
menjalankan perintah meski itu bertentangan
dengan akal sehat dan nurani.
Milgram terinspirasi oleh seorang penjahat perang
dunia kedua yang bisa dengan keji membunuh
jutaan manusia dengan alasan hanya menjalankan
perintah atasan saja. Milgram membuktikan lewat
sebuah riset, mayoritas partisipan di dalam
penelitiannya menjalankan instruksi dengan patuh
meski punya keinginan untuk menentang.
Para peserta dalam percobaan Milgram direkrut
lewat iklan koran untuk mengikuti sebuah studi
tentang daya ingat (padahal tentang kepatuhan).
Partisipan dibayar dan dipilih secara acak untuk
berperan sebagai sang murid atau sang guru.
Risetnya diinformasikan seakan-akan bertujuan
untuk menghubungkan kekuatan memori seseorang
dengan setruman listrik yang dialirkan peserta yang
berperan sebagai sang guru.
Tingkat setruman diatur melalui beberapa tombol
dengan label "setruman kecil," "setruman moderat"
dan "bahaya: setruman parah." Dua tombol terakhir
berlabel "XXX." Masing-masing memiliki daya listrik
yang semakin besar mulai dari 15 volt hingga 300
volt.
Setiap peserta yang berperan seorang "guru" akan
menekan tombol untuk menyetrum "murid" jika
sang murid menjawab salah dari pertanyaan-
pertanyaan yang dibacakan sang guru berdasarkan
tulisan yang harus diingat-ingat sebelumnya. Perlu
diketahui, sebenarnya peranan guru atau murid
tampak acak padahal peran sang murid dimainkan
oleh seorang aktor yang berpura-pura kesakitan
karena disetrum (dan tidak ada listrik yang
menyetrum di mesinnya).
Para partisipan yang menjadi subyek penelitian
Milgram ini ditempatkan diruangan yang terpisah
sehingga hanya bisa mendengar suara dari sang
murid untuk menjawab pertanyaannya. Suara
keluhan, jeritan, dan permintaan tolong untuk
menghentikan setruman juga bisa terdengar di
ruangan sang guru alias orang yang diteliti. Di
ruangan tersebut juga hadir seorang peneliti
sebagai figur otoritas yang menekankan kepatuhan
jika peserta menjadi ragu-ragu untuk menjalankan
tugasnya dalam membacakan soal dan khususnya
dalam menekan tombol setruman.
Selama percobaan berlangsung, peserta akan
mendengar sang murid yang memohon ingin
dilepaskan atau mengeluh tentang kondisi
jantungnya yang kurang fit. Setelah tingkat
setruman sebesar 300-volt dicapai, sang murid
(yang merupakan seorang aktor yang berpura-pura
kesakitan) menggedor-gedor dinding dan berteriak
minta untuk dibebaskan. Di titik ini, peserta
biasanya mulai ragu-ragu untuk menekan tombol
setruman sebagai hukuman dari jawaban yang
salah.
Di dalam ruangan yang sama dengan partisipan
yang berperan sebagai sang guru, terdapat seorang
peneliti yang berperan sebagai seorang ilmuwan
berjas putih sebagai seorang figur otoritas. Sang
ilmuwan ini mengatakan kalimat-kalimat yang penuh
ketegasan untuk menyuruh peserta agar terus
memberikan kejutan listrik di saat peserta mulai
ragu-ragu dalam menekan tombol setruman.
Bahkan ketika sudah tidak terdengar suara dan
peserta mulai was-was apakah sang murid pingsan
atau terkena serangan jantung, sang peneliti
sebagai figur otoritas tetap meminta peserta untuk
mematuhi perintahnya dan kembali menyetrum
dengan menekan tombol. Hasilnya, mayoritas
peserta taat menjalankan perintah meski akal sehat
dan hati nuraninya menentang.
Saat Milgram mensurvey mahasiswa Universitas
Yale, dia memprediksikan bahwa tidak lebih dari 3
dari 100 peserta akan tega memberikan tingkat
setruman tertinggi. Pada kenyataannya, ketika
dilakukan uji coba yang sebenarnya; hasil
eksperimen Milgram mengungkapkan mayoritas
peserta (65-75%) dalam risetnya patuh
melaksanakan tugas hingga tingkat setruman
maksimum.
Penelitian ini telah diulang beberapa kali dan
memberikan hasil yang serupa. Beberapa penelitian
lebih lanjut tentang kepatuhan juga mengkonfirmasi
temuan Milgram. Banyak peserta dalam percobaan
ini melakukan tindakan yang tampaknya sadis hanya
karena mematuhi instruksi dari pihak yang dianggap
berwenang. Kemudian beberapa variasi penelitian
yang menambahkan jumlah peserta yang berperan
sebagai guru (yang salah satunya diperankan oleh
seorang aktor yang berpura-pura menjadi guru yang
tidak patuh dan menolak melanjutkan pemberian
setruman) membuktikan bahwa kepatuhan bisa
berkurang jika terdapat kehadiran rekan lain yang
juga tidak patuh.
Dalam penelitian lainnya oleh salah seorang rekan
dari Stanley Milgram juga, peneliti yang bernama
Philip Zimbardo melakukan eksperimen yang dikenal
dengan istilah Penjara Stanford. Lokasi percobaan
dibuat seperti penjara; para partisipan diberikan
peranan sebagai penjaga dan tahanan. Hasil riset ini
menunjukkan siapapun bisa berbuat kejam sesuai
perannya sebagai penjaga yang memiliki wewenang
untuk berbuat kejam. Dan peran tahanan membuat
seseorang menjadi hilang semangat dan
menunjukkan keputusasaan karena tidak memiliki
wewenang apapun.
Kesimpulannya, kita bisa memotivasi orang lain
untuk bekerja dan melaksanakan apapun perintah
kita dengan merekayasa kepatuhan. Kepatuhan
didapat dengan mengelola keadaan eksternal
seseorang untuk mempengaruhi kondisi
psikologisnya agar orang tersebut taat kepada kita.
Hal ini bukan berarti kita bisa berbuat dengan
sewenang-wenang dan mamicu sifat kejam orang
lain. Eksperimen Milgram bisa kita ambil hikmahnya
sebagai pelajaran penting untuk menegakkan
ketaatan.
Misalnya dalam suatu perusahaan atau dalam suatu
proses penjualan; seorang atasan atau seorang
wiraniaga harus bisa menunjukkan karismanya
sebagai seorang figur otoritas yang sangat tegas dan
meniadakan pertentangan sekecil apapun yang bisa
memancing pemberontakan. Maka dari itu,
ketegasan sangat diperlukan namun dengan
kompetensi yang jelas, agar tidak menimbulkan
perlawanan. Tekanan yang diberikan harus cukup
kuat untuk memotivasi tapi tidak terlalu membebani
agar tidak ada yang nekat membantah.
Seorang pemimpin harus bisa menanamkan
otoritasnya dengan perasaan takut namun dicinta.
Janganlah menjadi atasan yang terlalu santai
sehingga disepelekan anak buah, jadilah seperti
seorang komandan militer yang keras namun tetap
dianggap baik karena mau memberikan
penghargaan atau pengakuan kepada mereka yang
layak mendapatkannya. Tapi jangan terlalu sering
memuji. Pujian dan keakraban yang jarang-jarang
malah akan dirindukan di sela-sela penegakkan
ketaatan yang ketat.
Seorang sales person juga harus bisa menunjukkan
kredibilitasnya sebagai seorang pakar, ahli dalam
memberikan solusi kepada pembeli berupa produk
yang dijual. Tenaga penjual ini juga bisa mengatur
situasi yang tepat untuk mendorong kepatuhan
pembeli serta memakai pakaian dan simbol-simbol
lainnya yang menegaskan otoritasnya. Tinggikan
reputasi lewat integritas, wawasan yang luas, dan
kemampuan yang handal selain juga tetap
menggunakan simbol-simbol otoritas seperti
pakaian, gelar, jabatan, aksesoris, dan sebagainya.
Intinya adalah; memotivasi kepatuhan bisa dilakukan
dengan pengelolaan figur otoritas, kondisi sekitar,
dan pemberian wewenang. Orang yang ingin
dimotivasi juga harus dijauhkan dari demotivator,
yaitu orang lain yang tidak patuh pada perintah.
Selain itu, sedikit keleluasaan perlu diberikan untuk
menghindari keputusasaan serta perlawanan.
Implementasi wewenang perlu diperhatikan secara
seksama. Memotivasi kepatuhan tidak perlu
berlebihan tapi dengan penampilan yang sangat
menegaskan otoritas dan pengaturan lingkungan
yang mendukung ketaatan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar